berita halal today indonesia
Halal Today

1 Muharram: Momen Kebangkitan Spiritual Kita

1 Muharram: Momen Kebangkitan Spiritual Kita

1 Muharram bukan sekadar awal tahun, tapi panggilan sunyi bagi jiwa yang lelah.

Ia mengetuk kalbu yang tertidur, mengajak hijrah—bukan berpindah tempat, tapi beralih dari lalai menuju sadar, dari gelisah menuju yakin.

Namun sering kali, langkah pertama terasa paling berat. Bukan karena kita tak tahu jalan, tapi karena kita merasa tak layak. Inilah yang disebut para sufi sebagai inferioritas spiritual—perasaan bahwa dosa-dosa kita terlalu gelap untuk diampuni, ibadah kita terlalu lemah untuk diperhitungkan, dan jiwa kita terlalu rusak untuk disembuhkan. Kita melihat orang-orang saleh dan merasa seperti debu di hadapan bintang.

Ibn Qayyim al-Jawziyyah, dalam Madārij al-Sālikīn, membedakan dua jenis kerendahan jiwa pasca dosa: satu yang mengangkat, dan satu lagi yang justru menenggelamkan. Ia berkata:

“النَّفْسُ الَّتِي تَذِلُّ لِلَّهِ بِسَبَبِ ذَنْبِهَا قَدْ رَجَتْ رَحْمَةَ اللَّهِ، أَمَّا الَّتِي تَسْتَسْلِمُ لِلذُّلِّ فَقَدْ أَسْقَطَهَا الشَّيْطَانُ.”

‏Jiwa yang merendah kepada Allah

‏karena dosanya—itulah jiwa yang sedang berharap pada rahmat Allah. Tapi jiwa yang menyerah pada kehinaan itu, telah dijatuhkan oleh setan.”

‏Apa maksudnya yah

Kerendahan pertama adalah bentuk tawadhu‘ yang sehat. Jiwa merasa bersalah atas dosa, tapi kerendahan itu justru mengantarkannya untuk kembali kepada Allah dengan hati yang lebih lembut dan pengharapan yang tulus. Ini adalah kerendahan yang melahirkan doa, air mata, dan tekad untuk bangkit. Ia tahu dirinya kotor, tapi justru karena itu ia mengetuk pintu rahmat.

Baca juga:

Jangan Gampang Menghakimi

Sebaliknya, kerendahan kedua adalah bentuk putus asa yang membinasakan. Jiwa merasa kotor lalu berbisik: “Aku memang tak pantas dimaafkan. Aku memang rendah.” Ia tidak lagi berusaha, tidak lagi berharap. Inilah jebakan syaitan: menjadikan dosa sebagai dalih untuk putus asa, bukan sebagai alasan untuk kembali.

Bagi Ibn Qayyim, perbedaan tipis ini menentukan apakah seseorang jatuh ke dalam pelukan rahmat, atau ke dalam jurang kehancuran batin. Maka, jangan biarkan rasa bersalah membuatmu membenci dirimu sendiri. Biarlah ia justru menjadi jembatan menuju kasih sayang-Nya.

Ketika kita merasa terlalu kotor untuk kembali, di situlah setan berbisik paling keras.

Syaitan menggunakan ketakutan sebagai rantai tak kasat mata, membuat kita terpaku di sawah dunia, takut untuk melompat ke cakrawala ilahi. Namun, setiap bisikan syaitan adalah ujian, dan setiap ujian adalah undangan untuk mendekat kepada Allah.

Allah membalas bisikan syetan ke jiwa kita itu dengan firman-Nya:

﴿قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ

الرَّحِيمُ﴾

“Katakanlah: ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa seluruhnya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’”

(QS al-Zumar: 53)

Ayat ini adalah panggilan kepada jiwa yang terluka, yang merasa tidak layak. Rahmat Allah lebih luas daripada dosa kita, dan langit-Nya selalu terbuka bagi rajawali yang berani mengepakkan sayap.

Setiap ketakutan yang menahan kita bukanlah nasib buruk yang ditetapkan, melainkan rantai yang kita pasang sendiri—dibentuk oleh keraguan dan rasa tidak layak. Bukan karena Allah menjauh, tapi karena kita tak lagi percaya bahwa sayap spiritual kita mampu terbang menuju-Nya.

Ibn ‘Aṭā’illah al-Sakandarī mengingatkan dalam al-Ḥikam:

‎«لَا تَدَعْ خَوْفَكَ مِنَ الْعَوَاقِبِ يَمْنَعُكَ مِنَ الْإِقْدَامِ عَلَى اللهِ»

“Jangan biarkan rasa takutmu akan akibat menghalangimu untuk melangkah kepada Allah.”

Artinya, jangan tunggu menjadi sempurna untuk mendekat. Jangan biarkan bayangan kegagalan di masa lalu menakutimu dari mencoba kembali. Sebab dalam setiap langkah menuju Allah, justru ada rahmat yang menyambut dan menguatkan.

Ketakutan hanyalah bisikan syaitan yang menyamar jadi logika. Sementara cinta Allah adalah cahaya yang menunggu siapa pun yang berani melangkah.

Di balik awan gelap dosa, rasa malu, dan kegelisahan batin, ada langit rahmat yang selalu terbuka. Rahmat itu bukan untuk jiwa yang sempurna, tapi justru untuk jiwa yang remuk namun masih ingin pulang. Kadang kita merasa terlalu rusak untuk diampuni, terlalu lemah untuk diterima. Padahal, justru dalam keretakan itulah cahaya sering kali menyusup masuk.

Jalāluddīn Rūmī menggambarkannya dengan indah:

“Ada seekor naga di dalam dirimu—bukan untuk menakutimu, tapi untuk mengajarkan bahwa di balik bayangannya, ada cahaya yang menanti untuk memelukmu.”

Naga itu adalah ketakutan, luka lama, dan dosa yang membayangi nuranimu. Tapi semua itu hanyalah bayangan—bukan kenyataan sejati. Di baliknya, ada cahaya Ilahi yang menunggu untuk menyambutmu kembali, jika kau berani melangkah melewatinya.

Wahai jiwa yang gemetar, jangan takut. Sayapmu bukan diciptakan untuk dilipat di lumpur dunia, tapi untuk mengepak tinggi melintasi cakrawala batinmu—menuju langit pengampunan dan pelukan kasih Tuhan.

Yuk kita berdoa:

‎اللَّهُمَّ قَوِّ قَلْبِي بِنُورِ إِيمَانِكَ، وَأَزِلْ خَوْفِي بِقُرْبِكَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ الَّذِينَ يَتَوَكَّلُونَ عَلَيْكَ فَتَكْفِيَهُمْ

“Ya Allah, teguhkan hatiku dengan cahaya iman-Mu, tenangkan jiwaku dengan kedekatan-Mu, dan jadikan aku termasuk orang-orang yang bertawakal kepada-Mu—lalu Engkau cukupkan mereka dengan kasih-Mu”

‎اللّٰهُمَّ أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَسْوَاسِ الشَّيْطَانِ، وَأَسْأَلُكَ قُوَّةً تُطَيِّرُنِي إِلَى سَمَاءِ قُرْبِكَ، وَيَقِينًا يُزِيلُ ظُلْمَةَ خَوْفِي

“Ya Allah, Engkau Tuhanku dan aku hamba-Mu. Lindungilah aku dari bisikan syaitan. Berikanlah aku kekuatan untuk terbang menuju langit kedekatan-Mu, dan keyakinan yang melenyapkan gelapnya ketakutanku.”

Doa ini adalah munajat jiwa yang berdiri di ambang tebing, ragu untuk terbang. Ia memohon kekuatan untuk melawan ketakutan dan keberanian untuk mempercayai rahmat Allah.

Setiap luka yang kita alami—entah karena dosa, kegagalan, pengkhianatan atau kehilangan—bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan undangan lembut dari Allah untuk masuk lebih dalam ke taman makrifat. Di sanalah kita belajar mengenal-Nya bukan hanya lewat nikmat, tapi juga lewat pedih yang menyucikan.

Setiap keraguan yang menyelinap di hati adalah celah tempat cahaya bisa masuk. Ia menggugah jiwa yang tertidur dan mengajarkan bahwa kehadiran Allah justru paling terasa di tengah kebimbangan, saat dunia kehilangan arah dan ruh rindu pulang.

Dan setiap 1 Muharram adalah lebih dari sekadar awal tahun. Ia adalah momen untuk bangkit dari tidur rohani, menyeka air mata, dan menata ulang arah hidup. Ia adalah seruan cinta dari langit, agar kita kembali menoleh kepada-Nya—dengan hati yang luluh dan langkah yang baru.

Sebab pada akhirnya, bukan kesempurnaan yang membuat kita layak dicintai oleh-Nya. Tapi keberanian untuk terus pulang, meski penuh luka.

Dan jika Tuhan saja tak jemu menerima kita kembali, bagaimana mungkin aku lelah dan bosan mencintaimu, dalam setiap jatuh dan bangkitmu, sayangku ❤️‍🔥

Kepakkan sayap kita dan terbanglah bersamaku menuju pelukan kasih sayang-Nya…

Tabik,

Nadirsyah Hosen

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *