Di padang Mina, di antara desakan ribuan manusia yang bertalbiyah dan bertakbir, ada satu ibadah yang tampak sederhana tapi sarat makna: melempar jamrah. Tujuh batu kecil di tangan, dilempar ke tiga titik yang menjadi simbol bisikan setan—Jamrah Ula, Wustha, dan Aqabah.
Secara fikih, ini bagian dari rangkaian manasik, meneladani Nabi Ibrahim saat menolak godaan setan yang ingin menggagalkan perintah Allah.
Namun, jika kita tenggelam sejenak dalam keheningan batin, kita akan sadar: yang dilempar bukan sekadar batu, tapi rasa takut, keraguan, dendam, dan hawa nafsu yang tak kunjung kita tundukkan.
Setiap lemparan adalah pernyataan cinta: bahwa kita memilih Allah di atas segalanya—bahkan di atas rasa aman, bahkan di atas logika dunia.
Baca juga: Arafah Peristiwa Terpenting Ibadah Haji, Jamaah Haji Indonesia Mulai Bergerak ke Arafah
Melempar jamrah adalah simbol perang batin. Jamrah Ula untuk godaan pikiran: bisikan keraguan, hasrat berkuasa, keinginan untuk dikagumi. Jamrah Wustha untuk godaan hati: jebakan dunia, iri, cinta yang tak bermartabat. Dan Jamrah Aqabah—yang utama—untuk godaan tindakan: keputusan yang membawa pada kehancuran jiwa.
Tapi apakah ibadah ini hanya milik mereka yang menunaikan haji?
Tidak. Justru sejatinya, jamrah kita temui setiap hari. Karena syetan tidak hanya hadir di Mina—ia hadir di sela-sela niat baik yang berubah arah, di bibir yang hendak berdusta, di mata yang memandang dengan dengki, di jemari yang nyaris menulis keburukan.
Kita bisa dan harus melempar jamrah setiap saat—dengan sabar, dengan dzikir, dengan keberanian untuk berkata tidak pada yang batil.
Mina itu ruang dalam jiwa. Dan setiap lemparan adalah sejenis zikir:
“Ya Allah, aku ingin bersih.”
“Ya Allah, aku ingin kembali kepada-Mu.”
Maka simpanlah tujuh ‘batu’ dalam hatimu: kejujuran, keteguhan, kesabaran, syukur, tawakal, kasih sayang, dan taubat. Lemparlah dengan itu semua setiap kali setan mendekat.
Karena jihad terbesar bukanlah di medan perang,
tapi saat kita menang melawan diri sendiri—
dan tetap memilih Tuhan,
meski sunyi, meski sulit, meski sendiri.
Tabik,
Nadirsyah Hosen