Di sebuah desa yang dikelilingi sawah dan kabut pagi, seorang petani tua menemukan telur besar. Tak tahu asalnya, ia meletakkannya di kandang itik bersama telur-telur lain.
Beberapa pekan berlalu. Menetaslah seekor anak rajawali—namun ia tumbuh di tengah anak-anak itik. Ia belajar menyusuri lumpur, mengepakkan sayap hanya untuk menggoyang air, dan menunduk saat hujan turun.
Baca juga:
Tentang Tarikan yang Tak Terlihat
Ia tidak tahu bahwa langit adalah rumahnya.
Hari-harinya berlalu dalam kerendahan, bukan karena ia rendah, tapi karena ia lupa bahwa ia tinggi.
Hingga suatu senja, datang seorang musafir berjubah debu. Ia melihat sosok gagah itu merunduk di antara kawanan itik.
Musafir itu mendekat dan berbisik,
“Engkau bukan bagian dari tanah ini, wahai putra angin. Kenapa kau menatap lumpur, padahal langit memanggil namamu?”
Rajawali itu menatapnya kosong. Ia tak mengerti. Ia diajari berenang di sawah, bukan membelah angkasa. Ia diajari takut, bukan percaya.
Musafir itu tersenyum dan menggendongnya ke puncak bukit. Di sana, angin mengalir lebih jernih dan matahari jatuh ke dada bumi.
Ia berkata,
“Sayapmu bukan untuk menyibak air, tapi membelah awan. Terbanglah. Jangan dustakan fitrah yang ditanam Tuhan dalam dadamu.”
Rajawali itu gemetar. Tapi ketika angin menyentuh bulunya dan cahaya fajar menari di matanya, ia merasa ada yang bangkit dalam dirinya. Bukan keberanian—tapi ingatan.
Ia mengepak. Sekali. Dua kali. Lalu… ia pun terbang.
Renungan:
Sebagian dari kita adalah rajawali yang lupa asalnya. Ruh kita dari langit—tapi kita berenang di sawah dunia, takut pada hujan ujian.
Tugas sang musafir—seorang mursyid sejati—bukan memberimu sayap, tapi menyadarkan bahwa engkau sudah memilikinya.
Syaikh Ibn ʿAṭāʾillah berkata:
كَيْفَ يُسَافِرُ إِلَى اللهِ مَنْ هُوَ مُسْتَوْقِفٌ بِغَيْرِهِ؟
“Bagaimana mungkin seseorang bisa berjalan menuju Allah, jika ia masih tertahan oleh selain-Nya?”
Penjara terbesar adalah lupa siapa diri kita: hamba Allah. 🙏🏻
Tabik,
Nadirsyah Hosen