Banyak orang hari ini tak lagi mampu membedakan: mana wilayah aqidah-ibadah, mana urusan muamalah dan budaya. Semua dicampur aduk, lalu dihantam satu dalil ini secara kaku:
“Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud)
Padahal hadis ini sendiri diperselisihkan statusnya. Ada yang menganggapnya sahih, ada pula yang menilainya dhaif. Ini artinya, ia bukan hadis mutawatir yang berlaku mutlak dalam urusan aqidah.
Baca juga: https://halaltoday.id/jangan-gampang-menghakimi/
Dan lebih dari itu, hadis ini tak bisa dipakai secara serampangan untuk mengharamkan segala hal yang kebetulan tidak ada di zaman Nabi, apalagi hanya karena umat lain juga melakukannya.
Ada hadis lain yang sering dilupakan, padahal shahih, riwayat al-Bukhari:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW menyukai untuk menyamai Ahlul Kitab dalam hal-hal yang tidak diperintahkan (dalam urusan di luar agama).”
Nabi sendiri, dalam beberapa hal duniawi, justru meniru Ahlul Kitab—seperti dalam tata cara menyisir rambut, misalnya. Selama bukan urusan aqidah dan ibadah, beliau tidak kaku. Tidak keras. Tidak memberatkan.
Maka, merayakan ulang tahun—atau mengucapkan selamat ulang tahun—bukanlah urusan aqidah. Ia hanya bagian dari interaksi sosial biasa. Hukum asalnya mubah. Mau dirayakan boleh, tidak mau pun tak mengapa.
Perayaan ulang tahun hari ini juga bukan bagian dari ritual keagamaan mana pun. Ia hanya bentuk kecil dari rasa syukur, doa, atau sekadar berbagi kebahagiaan. Mengapa harus dibuat rumit?
Di saat umat lain berlomba melesat ke bulan, menciptakan kecerdasan buatan, dan menemukan ribuan inovasi yang mencerahkan hidup manusia, kita masih saja terperangkap dalam perdebatan keliru soal boleh tidaknya mengucapkan “selamat ulang tahun.”
Sungguh, ada rasa iba dalam hatiku melihat ini, kawan. Kita ingin menjaga agama, itu mulia.
Tapi jangan sampai, dalam semangat menjaga, justru kita menjerumuskan diri dalam kekakuan yang membuat wajah Islam tampak kering dan jauh dari kasih sayang.
Tabik,
Nadirsyah Hosen